Strategy
Fenomena bisnis di era digital memang aneh. Begitu banyak bisnis startup yang terlihat keren dari sisi digital. Namun ketika diteliti lebih jauh, strategi dan eksekusi konvensionalnya amburadul.
Semenjak teknologi digital mendominasi, bisnis dibangun bukan lagi berdasarkan profit, tapi berdasarkan brand awareness dan adu cepat menguasai market share. Sekilas ini memang bagus dan membuat brand beserta bisnisnya melaju sangat cepat.
Tak hanya laju yang cepat, startup pun terlihat semakin seksi sehingga mampu menangkap perhatian dari para investor kelas kakap. Investor ini pun tak ragu menanamkan modal dalam startup, yang membuat valuasinya meroket sampai mengalahkan perusahaan-perusahaan besar yang sudah lama eksis lebih dulu.
Tak hanya bisnisnya yang terlihat menggairahkan, seringkali tokoh Co-Founder maupun CEO di balik startup pun tampil menonjol. Mereka menarik begitu banyak perhatian mulai dari investor super kaya, sampai selebritis dan pelanggan biasa yang dengan cepat menjadi loyal sekaligus bangga memakai produk dari bisnis tersebut.
Semua ini terlihat sangat mengagumkan, terutama didukung dengan kekuatan dari media sosial dan media digital lainnya, yang dengan kecepatan kilat menyebarkan konten ke seluruh penjuru dunia. Tak heran valuasi brand bisnis menjadi sangat tinggi dan kuat.
Lubang Keropos di Balik Kemewahan Digital
Namun siapa sangka, di balik setiap kemewahan startup seakan ada lubang keropos yang lupa diisi. Mereka melupakan strategi dan eksekusi konvensional yang selama ini menjadi inti dari bisnis yang sesungguhnya. Mereka lupa kalau bisnis harus dibangun dengan profit, dan bukan cuma dari komentar positif netizen.
Transformasi digital sangat didewakan. Mulai dari layanan pelanggan yang canggih memakai AI, tapi pelanggan tidak merasa dapat solusi. Alhasil komen di social media pun penuh caci maki.
Budget yang seharusnya diinvestasikan, malah dibakar demi untuk menaikkan brand image dan merebut market share supaya terlihat menarik di mata investor. Budget promosi untuk iklan digital digenjot hingga melebihi batas, sampai mengorbankan infrastruktur atau bahkan konsumen.
HR perusahaan yang terlalu "memewahkan" karyawan, namun tidak sesuai dengan kompetensi dan loyalitas. Atau bisa juga sebaliknya, karyawan hanya dianggap liabilitas sehingga diperlakukan seperti beban. Perusahaan tidak memahami sama sekali bagaimana mengelola HR dan Manajemen Talenta yang benar.
Jangan Lupakan Strategi Konvensional
Apa saja maksudnya Strategi Konvensional yang dimaksud?
Mulai dari menetapkan alur kerja yang jelas, mengelola SDM dengan penguasaan Manajemen Talenta, membenahi struktur organisasi, menata sistem pelayanan pelanggan, selalu berinovasi dengan menguatkan kualitas produk, dan yang paling penting harus paham bagaimana bisnis bisa men-generate profit.
Para raksasa digital sekelas Google pun masih berinvestasi untuk membuka toko atau ritel secara fisik, karena memikirkan customer engagement dengan para pelanggan mereka. Brand digital besar lain, seperti Amazon, Apple, Xiaomi, dengan gencar menambah toko ritel untuk menambah kontak fisik dengan para fans mereka. Industri fashion seperti Zara segera menghidupkan kembali cabang-cabang ritel mereka secara agresif setelah pandemi mereda.
Jangan sampai terlena dengan glamornya transformasi digital sampai startup melupakan eksekusi konvensional.
Jangan mengabaikan strategi dan eksekusi konvensional Anda hanya demi digital.
Segera benahi sekarang, sebelum menyesal!
Ivan Mulyadi
Subscribe our latest insight and event
FOLLOW US
© 2024 ONE GML Consulting