Insight     Bagaimana Organisasi Menciptakan Pemimpin?

Bagaimana Organisasi Menciptakan Pemimpin?

Jan 26, 2023

People

Share it:
            

Para leader organisasi berusaha untuk memoles dan mengelola karyawan supaya mempunyai mental tangguh dan performa kinerja yang baik. Namun bagaimana organisasi bisa menciptakan para leader itu sendiri?

 

Vince Lombardi, sang pelatih bola terkenal National Football League, mengatakan, "Pemimpin tidak dilahirkan, mereka diciptakan. Mereka diciptakan dengan usaha keras yang merupakan harga yang harus kita bayarkan untuk sukses.”

 

Rasanya tidak ada yang bisa menolak ungkapan ini, apalagi bila melihat ke sekeliling kita. Banyak organisasi ataupun lembaga pemerintah yang ternyata memang mengalami defisit pemimpin. Sebenarnya, banyak organisasi telah menyadari hal ini dan berusaha untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin masa depannya dengan beragam program, baik melalui pendidikan formal maupun informal yang diharapkan dapat menempa mereka untuk siap menghadapi masa depan yang semakin menantang.

 

Bisnis pasti akan terus menghadapi tantangan, tetapi memastikan ketersediaan pimpinan puncak sebagai suksesi tidak pernah boleh diabaikan. Tentunya show must go on, kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab si calon begitu saja demi persiapan dan pendidikan mereka. Program pembekalan keterampilan perlu berjalan beriringan dengan pencapaian target organisasi.

 

Seorang panglima di lembaga kemiliteran, pasti harus menjalani tugas komando, strategis, pengembangan pendidikan anak buahnya, sampai pada urusan administrasi sekalipun. Pemimpin perusahaan pun perlu mendalami tugas-tugas dasar operasional perusahaan, pengembangan manusia sampai strategi pencapaian target organisasi. Dengan kemajuan teknologi, banyak alat bantu yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan program belajar ini. Mulai dari belajar online, coaching, mentoring jarak jauh, sampai pada melibatkan mereka dalam forum-forum diskusi strategis para pimpinan perusahaan.

 

Ada beberapa hal yang secara prinsip perlu dialami seorang calon pemimpin.

 

Pertama, berikanlah ia kesempatan untuk merasakan, baik kegagalan maupun kesuksesan. Setiap orang perlu belajar dari kegagalan. Dengan bimbingan yang memadai, individu dapat melakukan refleksi ulang terhadap situasi, tindakan yang dilakukannya sampai kepada dampak dari tindakan tersebut terhadap diri, tim maupun organisasi, dan mendiskusikan bagaimana tindakannya bila ia memiliki kesempatan untuk mengulang kembali situasi yang sama.

 

Dalam situasi kesuksesan terjadi, ia pun perlu mengenali titik sukses dari tindakan yang dilakukannya sehingga ia dapat mengulangi kesuksesan tersebut dalam situasi yang berbeda. Bila organisasi dapat menyediakan suasana aman bagi individu untuk mempraktikkan kesalahan, ia akan memiliki know how dalam bidang yang baru ia hadapi ini.

 

Memasukkan seorang calon dalam fail fast environment bukan berarti memberinya suatu lingkungan yang kebal kesalahan. Dalam budaya fail fast ini, individu didorong untuk berani menembus batas-batas yang ada dan menyadari kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi sambil berusaha meminimalisasi sebisa mungkin dampak negatif dari kegagalan tersebut. Pihak-pihak yang terlibat memiliki kesadaran tentang kemungkinan kegagalan dan dapat bereaksi dengan cepat untuk mengatasinya.

 

Pelaksanaan fail fast environment ini sarat evaluasi dan membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Selain itu, mentoring dan diskusi mengenai benar tidaknya tindakan perlu dilakukan sesering mungkin. Jadi, selain mengalami, calon pemimpin ini juga mendapat bimbingan rasional dari para atasan untuk memahami why dan why not-nya suatu tindakan.

 

Kedua, pengecekan kualitas pribadi dan etika kerja juga sangat penting untuk dilakukan. Melalui interaksi coaching dan mentoring, pimpinan dapat lebih memahami values dari seorang calon eksekutif, apa yang ia cari dalam hidupnya, apa idealismenya, apa mimpinya akan masa depan. Hal ini sangat penting karena idealisme dan nilai-nilai pribadinya pasti akan mewarnai gaya kepemimpinannya dan berdampak pada organisasi.

 

Seseorang yang sangat risk taking mungkin akan mendorong organisasi untuk mengambil tindakan-tindakan berisiko tinggi, sementara mereka yang sangat mengutamakan harmonisasi cenderung akan menghindari konflik di organisasi dan bisa jadi lamban dalam mengambil keputusan dilematis. Gaya kepemimpinan dan pengambilan keputusan ini pun tentunya juga akan menjadi panutan bagi para bawahan tentang apa yang benar dan apa yang salah.

 

Dalam setiap proses promosi menuju C-level di GE, para calon akan melalui tes implementasi nilai dan moral perusahaan yang juga berisiko terhadap keberlangsungan posisi mereka juga di organisasi. Dengan demikian, GE memastikan bahwa perusahaan akan senantiasa dipimpin oleh mereka yang memiliki nilai sejalan dengan filosofi organisasi.

 

Ketiga, melihat kapasitas adaptasi individu. Gejala ketidakpastian di dunia sudah pasti akan berlangsung terus. Bisa kita bayangkan bila calon pemimpin kita masih memiliki fixed mindset. Ketidakpastian akan dianggap sebagai ancaman alih-alih sebuah kesempatan. Perusahaan akan kehilangan kesempatan untuk berkembang.

 

Kita juga perlu memeriksa agility dari calon pemimpin yang kita miliki. Apakah mereka memiliki kelincahan berpikir untuk menyambut semua tantangan baik yang di depan mata maupun pada masa depan. Apakah mereka sanggup memimpin tim untuk menembus pasar yang selalu berubah dan menyukseskan implementasi teknologi baru dalam menjawab tantangan digitalisasi ini disertai dengan konflik-konflik yang mungkin menyertainya.

 

Keempat, kejelasan mengenai wewenang dan tanggung jawab calon pemimpin. Ia perlu memiliki akses ke budget, manusia, dan strategi organisasi secara keseluruhan agar dapat membuat keputusan-keputusan yang berdampak seperti layaknya seorang CEO.

 

Hal yang juga harus dipertimbangkan bagi seorang calon pemimpin adalah executive presence-nya. Ia harus terlihat cerdas baik secara kognitif maupun emosi, memancarkan kepercayaan diri, bertindak decisive, dan dapat menjaga reputasi sesuai visinya. Ia pun harus lancar berkomunikasi dengan siapa pun di perusahaan mulai dari pimpinan puncak sampai pesuruh sekalipun secara optimistis dan positif. Ia juga mampu tampil menarik di depan publik, menguasai audience, membaca kebutuhan mereka dan menggerakkan mereka mencapai visi organisasi.

 

If your desire is to polish your executive presence, it requires patience, practice, and the willingness to change for the better.

 

Diambil dari:

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD - HR Consultant / Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 21 Januari 2023


More Insight

How we can help your organization?

ONE GML

Subscribe our latest insight and event


CAREERSABOUT USCONTACT US

FOLLOW US

linkedin
fb
ig

© 2024 ONE GML Consulting