People
Di tahun baru seperti ini, banyak orang membuat resolusi untuk tahun berikutnya dengan bermacam-macam keinginan dan target. Tetapi berdasarkan pengalaman di tahun-tahun lampau, ternyata banyak resolusi tersebut yang akhirnya berguguran di tengah jalan.
Pernahkah kita menganalisis apa penyebabnya? Apakah begitu sulitnya mengubah kebiasaan hidup kita menjadi pola baru? Misalnya, kebiasaan merokok setelah makan atau melewati tenggat perjanjian menjadi contoh kebiasaan buruk yang tidak asing lagi.
Apa yang membuat kita sulit lepas dari kebiasaan seperti itu meski sudah tahu bahwa kebiasaan itu tidak efektif bagi kehidupan kita? Apakah akibat pembenaran-pembenaran yang kerap kita ucapkan pada diri sendiri untuk membuat kita merasa lebih baik setiap kali gagal keluar dari kebiasaan tersebut?
Sekitar 43 persen dari seluruh tingkah laku kita sebenarnya terdiri atas kebiasaan yang dilakukan secara otomatis. Jadi, bila ingin mengubah perilaku kita menjadi lebih efektif, sebaiknya berfokus pada kebiasaan-kebiasaan yang ingin kita hilangkan. Bagaimana caranya?
Apakah kebiasaan itu?
Kebiasaan adalah perilaku rutin yang diulang-ulang hingga muncul di bawah kesadaran. Sering kali kebiasaan ini sudah mengakar sampai bisa memengaruhi mekanisme fisiologis individu. Seseorang yang memiliki kebiasaan merokok, bila berhenti secara tiba-tiba, bisa mengalami keringat dingin dan tubuh gemetar.
Benjamin Gardner PhD mendefinisikan kebiasaan sebagai tingkah laku yang muncul pada situasi spesifik, yang merupakan repetisi dari tingkah laku yang lalu dan memuaskan individu. Banyak ahli yang menyarankan agar kita memperhatikan kebiasaan kita karena hal ini juga memengaruhi level kebahagiaan kita.
Kumpulan kebiasaan juga dapat menggambarkan kepribadian kita. Orang yang terbiasa memotong omongan orang lain dan berfokus pada kepentingan dirinya cenderung muncul pada pribadi-pribadi yang dominan. Bayangkan bila ia tidak menyadari hal ini, bagaimana perilaku-perilaku ini memengaruhi kualitas relasi dan kepemimpinannya.
Anatomi kebiasaan
Ada tiga unsur dari kebiasaan, yaitu trigger, routine, dan reward. Mindless eating, misalnya, dipicu oleh rasa bosan atau cemas pada awalnya.
Ketika merasa bosan atau cemas, kita mencari camilan atau sesuatu yang bisa dikunyah dan kemudian merasa nyaman setelah mengunyah karena bisa menyalurkan rasa bosan atau kecemasan itu pada kegiatan mengunyah. Karena terjadi berulang-ulang, tubuh membuat pola di bawah sadar yang secara otomatis mencari makanan ketika sedang merasa bosan atau cemas.
Sebagaimana kita bisa membentuk kebiasaan buruk, kebiasaan baik pun bisa pula kita bangun. Namun, lepas dari kebiasaan buruk menuju yang baik memang membutuhkan usaha dan niat lebih besar. Sebab, sebelum kebiasaan yang baru terbentuk, kita harus memecah dan keluar dulu dari kebiasaan lama. Inilah mengapa membentuk kebiasaan baik terasa butuh perjuangan. Ibarat orang yang kecanduan, kita harus melakukan detoksifikasi dulu dari kebiasaan buruk yang menimbulkan rasa nyaman (padahal merusak) di tubuh kita.
Namun, kalau kita melihat orang-orang yang sudah terbiasa hidup sehat, tubuhnya juga otomatis menolak makanan-makanan yang tidak sehat. Mereka yang sudah terbiasa menghindari gula dan lemak atau gluten berlebih akan merasa tidak enak badan ketika hadir di pesta dan mengonsumsi makanan-makanan tadi. Jadi, ketika kebiasaan baik sudah terbentuk, usaha untuk mempertahankannya tidak lagi sekeras ketika pembentukan kebiasaan baik itu.
Kebiasaan bisa membantu otak bekerja secara autopilot sehingga sisa waktu dan kapasitas otak bisa kita gunakan untuk memikirkan hal-hal baru yang kreatif. Kita pun terhindar dari decision fatigue untuk mengambil terlalu banyak keputusan, seperti ketika kita sudah memiliki rute favorit dari rumah ke kantor yang akan kita tempuh tanpa perlu berpikir.
Menahan yang buruk
Hal terpenting dalam mengubah kebiasaan ini adalah penyadaran. Sadarkah kita bahwa kebiasaan buruk merongrong kehidupan kita? Apakah kita benar-benar berniat mengubahnya?
Kita bisa melakukan substitusi atas jalan keluar yang biasanya kita lakukan ketika “trigger” itu muncul. Misalnya, ketika sedang merasa stres atau bosan dan mulai tergoda untuk mencari makanan, dengan kesadaran kita dapat mengubahnya dengan melakukan olahraga.
Kita tahu bahwa olahraga dapat melepas hormon endorfin yang dapat meningkatkan mood dan membuat tubuh serta pikiran menjadi lebih relaks. Hormon ini bahkan dapat mengurangi rasa sakit dan memberikan energi positif.
Tentunya kita semua bersemangat untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan baru. Namun, mengapa sering gagal? Kebanyakan orang sering berambisi untuk membentuk kebiasaan baru yang terlalu muluk.
Kita bisa membuat tahapan pembentukan kebiasaan baru dari yang mudah sampai yang paling sulit. Mereka yang ingin membiasakan diri berolahraga 1 jam sehari, bisa memulainya dengan konsisten melakukan olahraga dulu setiap hari tanpa peduli berapa lama waktu yang digunakan.
Berikan hadiah pada diri sendiri ketika berhasil berdisiplin penuh selama kurun waktu tertentu. Setelah itu, kita dapat menambah frekuensi latihan sambil mencatat dampak-dampak positif yang berhasil kita dapatkan dari kebiasaan baru ini. Seperti turunnya berat badan, badan terasa lebih bugar dan jarang sakit hingga teman baru yang bertambah lewat aktivitas olahraga ini.
Dengan reward-reward yang kita berikan pada diri sendiri ditambah kesadaran akan dampak-dampak positifnya, niscaya perilaku ini dapat menjadi kebiasaan baru.
Kemampuan mengubah kebiasaan buruk sangat penting bagi hidup kita. Ketidakmampuan kita mengubah kebiasaan lama akan membuat kita menjadi manusia yang rapuh dan tidak adaptif.
Meski demikian, kita perlu menyadari bahwa kapasitas untuk berubah ini membutuhkan waktu, apalagi sampai kebiasaan baru itu dapat menetap. Play the long game, be patient, and go at a sustainable pace.
Diambil dari:
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD - HR Consultant / Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 7 Januari 2023
Subscribe our latest insight and event
FOLLOW US
© 2024 ONE GML Consulting