Insight     Hindari Kerja sampai Burnout! Terapkan Kerja Sehat melalui Pendekatan 360° Well-Being

Hindari Kerja sampai Burnout! Terapkan Kerja Sehat melalui Pendekatan 360° Well-Being

Jul 24, 2025

People

Share it:
            

Kesehatan Mental: Dari Wacana menuju Keniscayaan Organisasi

Dalam beberapa tahun terakhir, burnout telah berpindah dari sekadar jargon psikologis menjadi fenomena nyata yang membentuk arsitektur organisasi. WHO secara resmi mengklasifikasi burnout sebagai “fenomena yang berkaitan dengan pekerjaan”, bukan gangguan medis, tetapi cukup serius untuk memengaruhi motivasi, produktivitas dan kesehatan jangka panjang karyawan. 

 

Di Indonesia, data Kompas (2022) mencatat bahwa 49% pekerja kelas menengah mengalami gangguan mental. Riset internal One GML (Stellar Workplace Award tahun 2024) menemukan bahwa Dimensi Social Health menduduki peringkat pertama dalam memengaruhi motivasi kerja karyawan Indonesia. Data WHO (2023) melaporkan bahwa stres kerja kronis menjadi faktor risiko utama terhadap burnout yang kini dikategorikan sebagai fenomena pekerjaan dalam ICD-11.

 

Dalam konteks ini, pendekatan tradisional terhadap produktivitas sudah tidak lagi relevan. Perusahaan tidak cukup hanya mengukur output, tetapi perlu memahami kesejahteraan sebagai faktor strategis. Employee Wellness bukan lagi fasilitas tambahan, melainkan pilar utama dalam keberlangsungan dan ketahanan SDM.

 

Sebagai seorang psikolog klinis dan Chief of Assessment Center Tribe One GML, saya menyaksikan sendiri bagaimana perusahaan dengan budaya kerja sehat cenderung memiliki retention rate lebih tinggi, tingkat burnout lebih rendah dan performa tim yang lebih stabil dalam menghadapi disrupsi. Ini bukan sekadar tren HR, melainkan investasi strategis dalam keberlanjutan bisnis.

 

Mengapa Burnout Bukan Sekadar Kelelahan?

Burnout tidak identik dengan kelelahan fisik semata, namun merupakan kombinasi dari emotional exhaustion, depersonalisasi (hilangnya empati) dan penurunan pencapaian personal. Jika dibiarkan, burnout dapat menciptakan siklus berulang yang merusak integritas psikologis individu dan ekosistem tim. Dalam jangka panjang, situasi ini menciptakan kerugian finansial—baik dari sisi absenteeism, produktivitas yang menurun, hingga meningkatnya angka turnover.

 

Lalu bagaimana pendekatan yang relevan untuk menanggapi fenomena ini secara sistemik?

 

Well-Being Sebagai Sistem, Bukan Program Sesaat

Well-being perlu dilihat sebagai sistem kerja berkelanjutan, bukan sekadar seminar motivasi atau yoga mingguan. Pendekatan komprehensif ini melibatkan:

  1. Evaluasi Berbasis Data: Memahami realitas kesejahteraan karyawan dengan metode kuantitatif dan kualitatif.
  2. Keseimbangan 5 Pilar: Mental, Fisik, Sosial, Finansial dan Profesional — Ini adalah dimensi yang saling terhubung dan membentuk human system.
  3. Intervensi Multi-Lapis: Dari edukasi psiko-edukatif, konseling, penguatan gaya kepemimpinan yang suportif, hingga intervensi kebijakan kerja.

 

Di sinilah pendekatan berbasis asesmen menjadi krusial. Organisasi harus bertindak dengan insight berbasis data dan tidak hanya mengandalkan intuisi manajerial, untuk menghindari asumsi.

 

Framework 360° Well-Being untuk Transformasi Holistik

Di tengah kebutuhan akan pendekatan terukur, hadir inovasi 360° Well-Being dari One GML. Ini adalah produk Assessment Center yang merancang pendekatan kesejahteraan karyawan secara sistemik dan berkelanjutan.

 

Apa yang unik dari 360° Well-Being?

  • Berbasis 5 Pilar Kesejahteraan: Mental, Fisik, Sosial, Finansial dan Profesional — disesuaikan dengan kebutuhan karyawan dan tantangan organisasi.
  • Tahapan Implementasi Sistematis: Dimulai dari analisis kebutuhan dan tujuan, desain program terintegrasi, implementasi fasilitas dan workshop, hingga monitoring dan evaluasi secara menyeluruh.
  • Pendekatan Quick WinWorkshop 1 hari yang ditujukan untuk para leader/BOD, yang bertujuan membekali pimpinan dengan kerangka aplikatif 5 Pilar Well-Being di level strategis. Materi mencakup: Mind-Body SynergyFinancial AwarenessSocial Connectivity, serta keterkaitan antara wellness dan produktivitas kerja. 
  • Dukungan Asesmen & Data: Program dilengkapi asesmen awal, observasi dan umpan balik karyawan yang menghasilkan insight objektif.
  • Dampak Nyata Terukur: Berdasarkan studi kasus internal, implementasi program terbuktimeningkatkan produktivitas, menurunkan turnover, dan memperkuat keterlibatan karyawan.

 

Menutup Kesenjangan antara Kepedulian dan Tindakan

Banyak organisasi mengklaim peduli terhadap kesejahteraan karyawan, namun hanya sedikit yang memiliki kerangka kerja yang konkret, terukur dan berkelanjutan. Kesenjanganantara concern dan commitment inilah yang perlu dijembatani. Di sinilah assessment-based well-being system seperti 360° Well-Being memainkan peran sentral, yaitu mengubah perhatian menjadi keputusan, dan empati menjadi strategi.

 

Penutup: From Burnout to Breakthrough

Ketika organisasi memprioritaskan kesehatan mental dan kesejahteraan sebagai komponen utama strategi bisnis, maka mereka tidak hanya mencegah burnout, namun juga menciptakan ruang untuk breakthrough — tempat di mana inovasi, loyalitas dan kinerja tinggi tumbuh dari tanah yang sehat untuk menciptakan individu yang sejahtera.

 

Dengan 360° Well-Being, kita tidak hanya mengukur, tetapi juga merawat dan memberdayakan karyawan sebagai inti dari transformasi organisasi.

 

“Karena organisasi yang besar bukan hanya yang memiliki strategi hebat, tapi yang mampu menjaga manusianya tetap utuh.” 

 

A. Stephanie Hutabarat.,MA.,M.Psi.,Psikolog.,CT.SA 

Chief of Assessment Center Tribe 

One GML

 

Editor:

Ivan Mulyadi

 


More Insight

How we can help your organization?

ONE GML

Subscribe our latest insight and event


CAREERSABOUT USCONTACT US

FOLLOW US

linkedin
fb
ig

© 2025 ONE GML Consulting